Rencana PT Pertamina Hulu Energi (PHE) untuk membeli minoritas hak partisipasi (participating interest/PI) di proyek Pikka, salah satu prospek minyak terbesar di Alaska garapan Santos dan Repsol, tidak ditampik oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo.
Penjelasan pria yang biasa disapa Tiko tersebut di Jakarta, Selasa (21/5), “Pertamina sedang agresif untuk menjaring sumber-sumber minyak baru di luar negeri.”
Tiko melanjutkan, “Tujuan ekspansi tersebut untuk menggantikan lifting yang terus menurun di portofolio domestik.”
Dia menambahkan, kegiatan merger dan akuisisi yang dilakukan Pertamina dilakukan untuk lapangan-lapangan lepas pantai yang siap produksi dalam waktu dekat.
Komentar dia, “Kami ada program besar untuk melakukan merger dan akuisisi di lepas pantai, terutama untuk menghasilkan produksi cepat.”
Dalih Tiko, dengan adanya rencana merger dan akuisisi, diharapkan produksi minyak Pertamina bisa ditingkatkan di tengah tren penurunan lifting di dalam negeri.
Sementara itu, dilansir dari Reuters, Santos dan Repsol dikabarkan sedang menjajaki penjualan saham minoritas di ladang minyak Alaska.
Ladang tersebut dimiliki Santos dan Repsol dan akan dikembangkan dengan nilai investasi sekitar USD 1 miliar atau setara Rp 16 triliun (kurs Rp 16 ribu).
Konon, menurut konsultan Rystad Energy, ladang minyak itu termasuk proyek Pikka, dan merupakan salah satu prospek minyak terbesar di Alaska yang bernilai sekitar USD 4,5 (Rp 68,8 triliun).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Santos dan Repsol sedang menggandeng sebuah bank investasi untuk menjual saham minoritas di Pikka, bersama dengan sebagian saham di Lapangan Horseshoe dan Quokka, yang berlokasi di kawasan North Slope, Alaska.
Semula, ConocoPhillips berniat membeli 15 persen saham Pikka saat masih dikuasai oleh Oil Search, sebuah perusahaan energi asal Australia yang diakuisisi Santos senilai USD 6 miliar pada 2021.
Indonesian Mining