Kebutuhan terhadap modal yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak serta ketergantungan terhadap infrastuktur pemerintah untuk mengirimkan batu bara ke pasar, menjadikan sektor pertambangan kerap terpapar korupsi politik, dalam bentuk perdagangan pengaruh, political capture dan regulatory capture.
Perusahaan pertambangan batu bara harus berurusan dengan pejabat publik, yang kemudian mendorong ‘perselingkuhan’ antara perusahaan, birokrat, dan politisi.
Pertambangan batu bara pun seringkali menyebabkan kerusakan hutan hujan dan menyebabkan polusi udara dan air.
Kerusakan lingkungan tidak berakhir saat tambang ditelantarkan, karena tambang batu bara yang telah ditelantarkan tersebut terbukti berbahaya, bahkan mematikan bagi komunitas sekitar.
Hal itu yang coba dipotret oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam laporan bertajuk Coalruption: Elit Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara.
Jatam membuat laporan tersebut bersama sejumlah organisasi nirlaba lainnya seperti Greenpeace, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Auriga.
Jatam dalam laporannya menulis, menurut hukum Indonesia, perusahaan tambang wajib mengisi lubang-lubang tambang yang tidak digunakan, serta menghijaukan dan merestorasi lingkungan pertambangan.
“Tiap tahapan proses tersebut harus mendapatkan persetujuan dari badan pemerintah sebagai bagian dari pendaftaran awal untuk izin pertambangan,” tulis laporan tersebut.
Bahkan, lanjut laporan itu, perusahaan juga diharuskan melakukan analisis dampak lingkungan (Amdal) dan memberikan surat jaminan keuangan untuk reklamasi dan restorasi situs pertambangan.
Namun, banyak perusahaan yang melanggar peraturan-peraturan tersebut. Hal ini terus belanjut secara luas di seluruh wilayah pertambangan di Indonesia.
Tulis Jatam dalam laporannya, “Impunitas, atau pembebasan dari tuntutan hukum, yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan terjadi karena korupsi yang terjadi di sektor pertambangan.”
Lembaga anti-korupsi Transparency International menyatakan dalam laporannya Bribe Payers Survey 7 pada 2011 bahwa sektor minyak dan gas serta pertambangan merupakan sektor-sektor yang rentan terhadap penyuapan.
Nilai investasi pertambangan yang tinggi serta keterlibatan pemerintah yang besar lewat berbagai peraturan membuka peluang dan insentif untuk korupsi yang besar.
Laporan OECD pada 2016 berjudul ‘Laporan mengenai Korupsi dalam Rantai Nilai Ekstraktif (Report on Corruption in the Extractive Value Chain)’ menekankan bahwa risiko korupsi dapat timbul pada berbagai titik di rantai pasokan: mulai dari fase pengambilan keputusan untuk melakukan ekstraksi hingga penggunaan penerimaan.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus korupsi dalam industri ekstraktif yang disurvei terdapat dalam ‘penerbitan izin pertambangan, minyak dan gas’, dan fase ‘operasi dan peraturan ekstraksi’ (34 dari 59 kasus), sementara kasus-kasus lainnya terdapat dalam fase ‘pengumpulan penghasilan’.
Jatam menekankan bahwa jenis-jenis pelanggaran yang terjadi termasuk penyuapan pejabat pemerintah, penggelapan uang, penyalahgunaan dan pengalihan dana publik, penyalahgunaan jabatan, pertukaran pengaruh, favoritisme, pemerasan, penyuapan pejabat domestik, dan uang pelicin.
“Beberapa penelitian yang dilakukan oleh ICW dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menemukan hubungan antara korupsi politik dan penerbitan izin pertambangan,” tulis Jatam.
Perlu diketahui, Bank Dunia dalam Amundsen 1999 pernah menulis bahwa secara umum, korupsi dipahami sebagai ‘penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi’.
Kondisi tersebut mengacu pada perilaku seseorang yang mewakili negara dan kewenangan umum untuk mencari keuntungan pribadi, atau penyalahgunaan barang publik oleh pejabat negara untuk kepentingan pribadi
Jatam menegaskan bahwa korupsi menciptakan pertentangan antara anggota masyarakat dengan negara, yang diwakili oleh pegawai negeri sipil, politisi atau siapapun yang berwenang untuk mengalokasikan sumber daya publik (yang seringkali bersifat langka) untuk kepentingan negara.
Publik paham, korupsi terjadi ketika orang-orang tersebut ‘menyalahgunakan kekuasaan publik yang mereka miliki untuk keuntungan pribadi dengan menerima uang atau suatu bentuk penghargaan lainnya, dan kemudian menyalahgunakan kekuasaannya untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya’.
***
Keterlibatan perwakilan negara dalam praktik-praktik korupsi seringkali terjadi dalam bentuk korupsi politik, di mana para pengambil keputusan politis secara sistematis menyalahgunakan, mengelak, mengabaikan ataupun membuat undang-undang dan peraturan yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.
Hal ini seringkali terjadi di tingkatan tertingi di dalam sistem politik. Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko korupsi dalam tiap tahapan proses pertambangan.
Kelemahan dalam sistem anti-korupsi, legal dan yudisial dapat melemahkan kemampuan pemerintah untuk dapat mendeteksi, mencegah, dan menghukum korupsi secara efektif.
Bukti empiris menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan yang sangat terpolitisasi dan kekuasaan diskresioner yang dipegang oleh pejabat negara tinggi maupun pejabat di bawahnya juga merupakan faktor-faktor risiko lainnya.
Fakta tersebut terjadi karena standar-standar yang sangat rendah terkait konflik kepentingan, lemahnya peraturan mengenai lobi dan pendanaan kampanye politik, serta kurangnya transparansi keuangan negara.
Secara khusus, mungkin juga tidak ada perlindungan yang cukup dari risiko kolusi dan campur tangan politik yang berkaitan dengan ‘fenomena keluar masuk pintu’, di mana orang dapat berpindah dari satu jabatan tinggi ke jabatan lainnya di sektor pemerintah dan swasta.
Tata kelola yang lemah dalam sektor in juga merupakan faktor risiko lainnya. Pola-pola korupsi yang makin kompleks juga menjadikannya sulit untuk diberantas.
Korupsi dapat berkedok di balik struktur yang berlapis-lapis di berbagai tingkatan yang melibatkan perusahan tempurung (shell company) dan kendaraan perusahaan yang digunakan untuk menyalurkan atau menyembunyikan pembayaran korupsi dan menjauhkan pelaku korupsi dari tindakan kriminal tersebut.
Kurangnya akses terhadap informasi yang memadai mengenai struktur-struktur perusahaan tersebut, termasuk informasi mengenai kepemilikan perusahaan, merupakan salah satu risiko korupsi terbesar.
Meskipun pasar pertambangan mungkin terlihat kompetitif dengan adanya banyak perusahaan, faktanya adalah hanya segelintir orang yang mengontrolnya.
***
DI satu sisi, menyembunyikan pemilik manfaat memungkinkan pemilik usaha untuk bertindak sebagai monopoli atau kartel dengan cara memiliki dan mengendalikan sejumlah perusahaan dengan nama atau bentuk usaha yang berbeda.
Hal tersebut juga menjadikan usaha untuk mencegah konflik kepentingan menjadi lebih sulit. Proses bidding yang seharusnya dilakukan terbuka malah menguntungkan perusahaan-perusahaan di mana pejabat atau rekannya memiliki kepentingan dengan cara membatasi siapa yang dapat mengajukan tawaran.
Contoh lainnya adalah manipulasi kebijakan ‘kandungan lokal’, di mana proses bidding mengharuskan adanya suatu konsorsium atau usaha bersama antara perusahaan asing dan perusahaan lokal (atau pengusaha lokal) atau BUMN.
Persyaratan untuk membentuk usaha bersama dengan mitra lokal dapat digunakan untuk menguntungkan perusahaan yang dimiliki oleh, atau berhubungan dengan, pejabat negara untuk memenuhi kepentingan politisi.
Meskipun beberapa regulator di Indonesia bersikeras bahwa identitas pemilik keuntungan perusahaan harus diungkapkan, hal ini tidak menjadi hal yang wajib di setiap sektor.
Terdapat banyak isu dalam hal ini, termasuk definisi yang paling sesuai untuk kepemilikan keuntungan (beneficial ownership) dan pengumpulan informasi, dan juga terbukti sulit untuk mengembangkan sebuah database terkait pemilik keuntungan di Indonesia.
Kantor pencatatan vital, seperti sistem administrasi hukum, tidak mencatat pengungkapan nama pemilik keuntungan.
Saat ini, tidak ada peraturan yang secara jelas mewajibkan perusahaan dalam industri ekstraktif untuk mengungkapkan siapa nama pemilik keuntungan.
Perusahan hanya diwajibkan untuk menyebutkan nama dewan direktur dan pemegang saham (pemilik legal).
Peraturan terkait pertambangan migas (Perpu No 35/2004) juga hanya mewajibkan adanya penjelasan apakah suatu perusahaan mengendalikan, atau dikendalikan oleh, perusahaan lainnya.
Sektor batu bara yang pada dasarnya membutuhkan hubungan yang dekat antara pihak swasta dan pemerintah besamaan dengan kerangka peraturan yang lemah di Indonesia menciptakan korupsi politik dan sistematik, di luar korupsi birokratis, dalam bentuk pertukaran pengaruh, political capture dan korupsi peraturan.
Melalui peraturan pemilik keuntungan yang tidak transparan, sulit untuk mengidentifikasi konflik kepentingan yang melibatkan para pembuat keputusan kunci.
Sekalipun reaksi menentang korupsi, kolusi, dan nepotisme, bersamaan dengan krisis ekonomi yang parah, merupakan faktor-faktor pemicu reformasi pada 1998, peran yang dimainkan oleh ‘para pemain besar’ – atau politically exposed persons (orang-orang yang berpengaruh secara politik) – terus terjadi dalam kasus-kasus korupsi di sektor ekstraktif.
Politically exposed person adalah seseorang yang memegang atau pernah memegang peran publik (seperti kepala negara atau pemerintah, politisi senior, pejabat yudisial atau militer, pejabat eksekutif BUMN atau petinggi partai politik).
Politically exposed person juga mencakup anggota keluarga, maupun kerabat dekat, sosial atau profesional. Karena posisi yang dijabat oleh mereka, banyak politically exposed person yang dapat menyalahgunakan atau mengabaikan peraturan, regulasi dan kebijakan.
Pengawasan yang lemah dan kurangnya transparansi dalam beneficial ownership memperbesar risiko korupsi ketika izin menggarap sumber daya alam diberikan kepada perusahaan.
‘Segitiga penipuan’ atau fraud triangle menyebutkan ada tiga faktor yang terlibat ketika penipuan terjadi, yaitu motivasi, rasionalisasi, dan peluang.
Peluang terjadinya korupsi dalam sektor pertambangan sangat besar. Negara seperti Indonesia yang sangat bergantung pada batu bara, dan mendapat julukan dirty man of Asia, menciptakan kebijakan-kebijakan yang memastikan bahwa usaha batu bara dapat terus berlanjut dan menghasilkan keuntungan.
Indonesian Mining