Indonesia bergantung pada tenaga batu bara untuk 62,5 persen dari pembangkitan listriknya. Ketergantungan ini membawa dampak yang signifikan terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat di Tanah Air.
Penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik berkontribusi besar terhadap pertumbuhan emisi gas rumah kaca selama beberapa dekade terakhir.
Penghentian batu bara secara bertahap dan jalur nir emisi yang saat ini sedang dipersiapkan merupakan peluang besar untuk membersihkan sistem ketenagalistrikan Indonesia.
Laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) bertajuk Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia mengungkapkan sejumlah fakta.
Ditemukan sejumlah temuan kunci dalam laporan tersebut. Misalnya, emisi polutan udara yang berasal dari pembangkit listrik batubara meningkat sebesar 110 persen di Indonesia selama satu dekade terakhir.
Laporan itu menulis, “Jika semua pembangkit listrik batubara yang direncanakan, termasuk pembangkit captive, selesai dibangun dan beroperasi, peningkatan lebih lanjut sebesar 70 persen diperkirakan akan terjadi pada 2030 berdasarkan skenario kebijakan saat ini.”
Bahkan, secara mengejutkan laporan itu mengungkapkan bahwa emisi polutan udara yang dihasilkan oleh pembangkit listrik batu bara di Indonesia pada 2022 turut
bertanggung jawab atas 10.500 kematian akibat polusi udara dan biaya kesehatan sebesar USD 7,4 miliar atau setara Rp 111 triliun (kurs Rp 15.000).
“Kebijakan-kebijakan yang berlaku saat ini akan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik batubara Indonesia yang sekarang sebesar 45 GW menjadi 63 GW sebelum mencapai puncaknya pada tahun 2028,” tulis laporan tersebut.
Adanya kebijakan tersebut, lanjut laporan itu, akan mengakibatkan angka kematian yang terkait dengan polusi udara dari pembangkit listrik batu bara meningkat menjadi 16.600 per tahun dan biaya kesehatan menjadi USD 11,8 miliar per tahun atau setara Rp 188,8 triliun (kurs Rp 16.000).
Laporan itu pun menerangkan bahwa di bawah kebijakan-kebijakan yang berlaku saat ini, dampak kesehatan kumulatif dari 2024 hingga berakhirnya masa operasi semua pembangkit listrik batu bara akan mengakibatkan 303 ribu kematian terkait polusi udara dan biaya kesehatan sebesar USD 210 miliar atau sekitar Rp 3,36 kuadriliun (kurs Rp 16.000).
Secara gamblang CREA dan IESR juga menegaskan bahwa penghentian penggunaan batu bara secara lebih cepat pada 2040, sejalan dengan target Persetujuan Paris sebesar 1,5 derajat Celcius, akan menghindarkan total kumulatif sebanyak 182 ribu kematian terkait polusi udara dan biaya kesehatan sebesar USD 130 miliar atau setara Rp 2 kuadriliun dari 2024 hingga akhir masa pakai semua pembangkit listrik.
“Karena bertanggung jawab atas seperlima dari keseluruhan dampak kesehatan pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, penting untuk memasukkan pembangkit listrik batubara captive ke dalam Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk membuat kemajuan yang berarti,” terang laporan tersebut.
Indonesian Mining