Indonesia memiliki tantangan yang berat untuk memastikan pasokan daya yang konsisten dan dapat diandalkan di seluruh kepulauannya.
Indonesia kaya akan sumber energi, termasuk batu bara, gas alam, panas bumi, hidro, dan energi terbarukan yang lainnya.
Meskipun memiliki berbagai macam sumber energi, sektor listrik menghadapi masalah seperti mengamankan pasokan bahan bakar, hilangnya daya listrik saat
transmisi, dan distribusi sumber daya energi yang tidak merata.
Akibatnya, beberapa wilayah di Indonesia yang sering mengalami pemadaman listrik atau pasokan listrik yang tidak dapat diandalkan. Industri yang berada di lokasi terpencil, kesulitan untuk mengandalkan jaringan listrik publik untuk kebutuhan energi mereka.
Guna mengatasi masalah ini, banyak industri dan komersial di Indonesia, khususnya yang memiliki permintaan energi yang besar, beralih ke pembangkit listrik independen.
Langkah strategis ini memungkinkan industri-industri untuk memiliki kendali yang baik atas sumber energi mereka, mengurangi ketergantungan pada jaringan listrik publik dan memastikan pasokan listrik yang stabil dan tidak terputus.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa jumlah total fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral mentah (smelter) melampaui 100 fasilitas.
Angka tersebut mencakup smelter yang saat ini beroperasi, dalam tahap pembangunan, atau dalam tahap perencanaan. Sejak 2013 hingga 2023, kapasitas captive power beroperasional telah mengalami peningkatan yang lumayan besar, dengan penigkatan delapan kali lipat dari 1,4 gigawatt (GW) menjadi 10,8 GW.
Sebagian besar smelter ini mengandalkan listrik captive untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Selama ini, pemilik smelter tersebut lebih memilih menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara off-grid dari pada jaringan listrik nasional.
Alasan utama sektor industri, khususnya smelter, lebih memilih menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara off-grid adalah karena beberapa faktor.
Pertama, jaringan listrik PLN yang belum memadai atau belum andal di beberapa daerah, seperti di Sulawesi dan Maluku, menjadi kendala utama.
Contohnya adalah rencana pembangunan industri smelter PT Vale Indonesia Tbk yang terhambat oleh keterbatasan infrastruktur listrik. Kedua, di Pulau Jawa, di mana infrastruktur listrik relatif lebih baik, industri smelter cenderung memilih membeli Renewable Energy Certificate (REC) dari PLN dari pada membangun pembangkit sendiri, seperti yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia di Gresik.
Ketiga, belum adanya target penurunan emisi khusus yang ditujukan kepada industri nikel, tembaga, dan alumina/aluminium dari kementerian terkait, seperti Kementerian LHK, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian ESDM, juga menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan industri untuk menggunakan PLTU batu bara off-grid.
Guna mengatasi semua problem tersebut, Kementerian Perencaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas dan Global Green Growth Institute (GGGI) akan menggelar ‘Kegiatan Diseminasi Studi Pembangkit Captive di Industri Smelter Indonesia’.
Kegiatan tersebut akan digelar pada Jumat (12/7) dan berlangsung di Jakarta. Diharapkan dari kegiatan tersebut akan menghasilkan data yang bisa menjadi referensi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk rencana pembangunan sektor energi.
Berdasarkan daftar undangan yang diperoleh Indonesian Mining, Selasa (9/7), akan hadir sebagai pembicara adalah Resvani (ahli pertambangan), Alin Hamatusadiah (ahli ekonomi energi), dan Filda C Yusgiantoro (ahli penilaian regulasi dan kebijakan).
Sejumlah asosiasi dan direksi perusahaan pun diundang untuk hadir dalam acara tersebut. Sebut saja Forum Industri Nikel Indonesia, Indonesian Mining Association (IMA), Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), PT Amman Mineral Industri (AMIN), PT Vale Indonesia, PT Sumbawa Timur Mining, PT Aneka Tambang P3FH, dan masih banyak lagi.
Indonesian Mining