Memasuki Januari 2025, pemerintah diminta segera memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri keramik.
Hal itu diungkapkan Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), pekan lalu. Ketua Umum Asaki Edy Suyanto bilang bahwa kebijakan HGBT sangat vital bagi industri keramik.
Ini mengingat sekitar 30 persen biaya produksi keramik adalah berupa biaya energi gas sebagai bahan bakar utama. Kata dia, “Gas tidak bisa digantikan dengan bahan bakar lainnya.”
Edy pun komentar, “Kehadiran HGBT telah memberikan multiplier effect yang besar seperti investasi baru dan penyerapan jumlah tenaga kerja, di samping juga kontribusi pembayaran pajak kepada negara.”
Di satu sisi, Asaki juga minta pemerintah mencari solusi bersama PT PGN Tbk terkait gangguan pasokan gas yang telah berlarut dan tak kunjung usai. Akibatnya, pelaku usaha mengalami pembatasan pemakaian gas, yakni sekitar 65 persen hingga 70 persen dari volume kontrak gas.
Penegasan Edy, “Di tengah turunnya daya saing dan tingkat utilisasi produksi akibat pembatasan kuota pemanfaatan gas yang disertai mahalnya surcharge gas oleh PGN, kami kembali dikejutkan oleh aturan baru PGN, di mana mulai 1 Januari 2025 hingga 31 Maret 2025 perusahaan tersebut mengeluarkan kebijakan Harga Gas Regasifikasi.”
Menurut dia, kebijakan tersebut jelas sangat memberatkan, bahkan merugikan industri keramik nasional. Sebab, mereka dikenakan harga gas USD 16,77 per mmBtu akibat kebijakan tersebut.
Bahkan, tegas Edy, “Ini merupakan harga gas termahal di kawasan Asia Tenggara. Ini berarti setiap pemakaian gas di atas AGIT industri, maka pelaku usaha dipaksa harus membayar lebih mahal sekitar 2,5 lipat dari HGBT yang sebesar USD 6,5 per mmBtu.”
Keterangan Edy, Asaki telah berkirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menyelamatkan industri keramik dari keterpurukan akibat gangguan pasokan gas dan mahalnya surcharge gas yang dikenakan oleh PGN.
Indonesian Mining