Sejumlah tender pengadaan penyediaan peralatan tumpahan minyak di PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) diduga berbau manipulasi, monopoli, dan kongkalikong.
PT KPI adalah Subholding Refining & Petrochemical PT Pertamina (Persero) dan merupakan strategic holding company.
Penelusuran IndonesianMining.com, aroma tidak sedap dugaan manipulasi, monopoli, dan kongkalikong terjadi ketika PT KPI menggelar tender pengadaan penyediaan peralatan tumpahan minyak di sejumlah unit operasi dan anak usaha yang dimiliki PT KPI.
Adapun unit operasi yang dimiliki PT KPI saat ini adalah Refinery Unit (RU) II Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap. RU V Balikpapan, RU VI Balongan, dan RU VII Kasim.

PT KPI diketahui juga memilik dua anak usaha, yakni PT Kilang Pertamina Balikpapan (PT KPB) dan PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP).
Dugaan manipulasi, monopoli, dan kongkalikong serta tender di PT KPI disinyalir juga melibatkan pihak swasta, yaitu PT Oil Spill Combat Team (OSCT) dan PT Slickbar Indonesia. Kedua perusahaan ini, OSCT dan Slickbar, masih satu kesatuan, di mana Slickbar menjadi induk dari OSCT.
Sekedar info, OSCT Indonesia berdiri pada 2011 yang mengkhususkan diri pada pabrikasi alat-alat penanggulangan minyak.
Sedangkan Slickbar Indonesia bermula saat Slickbar Products Corporation (yang didirikan di Connecticut, Amerika Serikat pada 1960), menunjuk Slicbar Indonesia sebagai agen tunggal untuk penanggulangan tumpahan minyak di Indonesia.

Slickbar Indonesia dan OSCT diketahui memiliki kantor serta base and command centre di lokasi yang sama, yakni Delta Silikon Industrial Park, Lippo Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Bayu Satya adalah orang Indonesia yang pertama kali memperkenalkan industri Oil Spill Response Equipment (OSRE) di Indonesia dan kemudian menjadi pendiri Slickbar dan OSCT di Indonesia.
Diminta komentarnya, Tommy Rahaditia, juru bicara Asosiasi Operator Keselamatan dan Pencegahan Tumpahan Minyak di laut se Indonesia (AOKPTMI), akhir pekan lalu berkata bahwa dugaan monopoli bisnis penyediaan peralatan tumpahan minyak sudah terindikasi sejak lama.

Kata Tommy, “Peran regulasi sangat mendukung praktek monopoli ini. Regulasinya antara lain adalah Peraturan Pemerintah No 212010 soal perlindungan lingkungan maritim dan Permenhub 58/2013 tentang penanggulangan pencemaran di perairan dan pelabuhan.”
Bahkan secara lantang Tommy bilang, “Terjadi kongkalikong antara pembuat regulasi dengan penyedia jasa sehingga sampai saat ini menjadi proyek yang nilainya minimal mencapai Rp 500 miliar per tahun.”

Secara vulgar Tommy juga komentar, “Industri migas, galangan kapal, pelabuhan, baik yang dioperasikan oleh BUMN atau swasta, serta pertambangan menjadi target proyek yang di duga dilakukan monopoli oleh OSCT.”
“OSCT mendapatkan akreditasi sebagai perusahaan yang terdaftar untuk menstempel jalan atau tidaknya suatu perusahaan sesuai dengan Permenhub 58/2013 serta merekomendasikan barang-barang yang dibutuhkan. Ini sangat aneh,” kata Tommy.
Tommy pun menilai bahwa apa yang dilakukan OSCT dan Slickbar sangat terstruktur dalam melakukan monopoli pekerjaan tersebut dan seakan tidak memberikan kesempatan adanya perusahaan baru yang berusaha dibidang tersebut.
Tommy pun mengungkapkan, “Slikbar dan OSCT menguasi hulu dan hilir industri ini. Bahkan kami menduga adanya tekanan demi tekanan dialami oleh perusahaan yang menggelar tender dan tidak menunjuk OSCT dan Slickbar, atau perusahaan-perusahaan yang baru tumbuh di bidang sama dengan mereka pun kerap dihambat.”
Penilaian Tommy, kegiatan praktik monopoli tersebut mengakibatkan biaya produksi di Indonesia menjadi tidak efisien dan tinggi. Tommy lantas meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk segera turun tangan.
“KPPU harus bisa menginvestigasi praktik monopoli yang di duga dilakukan oleh OSCT dan Slicbar,” ujar Tommy.
Indonesian Mining