Para aktivis yang tergabung di dalam Jaringan Gusdurian menolak secara tegas adanya pembagian konsesi tambang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
Gusdurian merupakan kelompok beranggotakan individu, komunitas, atau lembaga yang sama-sama memiliki pemikiran untuk meneruskan perjuangan Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
Fokus gerakan ini adalah pada isu-isu tertentu, di antaranya ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, maupun kearifan tradisi.
Inayah Wahid mewakili Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian dalam keterangan tertulis, Selasa (11/6) malam, tegaskan, “Gus Dur tidak pernah memberikan konsesi tambang selama menjabat sebagai kepala negara.”
Inayah kembali bilang, “Tercatat dalam sejarah bahwa Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia yang tidak pernah memberikan konsesi tambang serta melakukan moratorium penebangan hutan untuk keberlanjutan kelestarian ekosistem.”
Dia berkata, “Rekam jejak Gus Dur menunjukkan konsistensinya menolak industri ekstraktif yang merusak sumber daya alam dan mengeksklusi rakyat dari ruang hidupnya.”
Jaringan Gusdurian, lanjut Inayah, secara tegas mengkritisi peraturan pemerintah yang memberi izin ormas keagamaan untuk mengelola tambang batu bara dan mineral.
Komentar Inayah, “Memberi izin pada ormas keagamaan sangat bertentangan dengan UU Minerba.”
Lanjut dia, “UU menyatakan izin hanya dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan melalui cara lelang.”
Menurut Jaringan Gusdurian, imbuh dia, industri pertambangan di Indonesia penuh dengan tantangan lingkungan dan etika, termasuk degradasi lahan, penggundulan hutan, dan penggusuran masyarakat lokal.
Jaringan Gusdurian telah mendampingi sejumlah kasus terkait sumber daya alam, mulai dari kasus Wadas, Kendeng, Tumpang Pitu, Gorontalo, Pandak Bantul, Banjarnegara, Mojokerto, dan lainnya.
Inayah tegaskan, “Pelibatan organisasi keagamaan sebagai entitas penerima hadiah izin pertambangan oleh presiden menimbulkan diskursus tentang peran ormas.”
Kata dia, “Selama ini ormas keagaaman sebagai penjaga moral etika bangsa, kehidupan bermasyarakat dan penyelenggaraan negara. Termasuk di dalamnya kebijakan industri ekstraktif.”
Keterlibatan ormas keagamaan dalam sektor pertambangan, terang Inayah, justru menimbulkan banyak risiko turunan.
Watak organisasi keagamaan yang memiliki banyak pengikut di akar rumput, sementara industri pertambangan memiliki watak seperti di atas, membuat keterlibatan ormas keagamaan berpotensi menciptakan ketegangan sosial apabila terjadi persoalan di tingkat lokal.
Indonesian Mining