Nikel, khususnya, telah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir karena pertumbuhan volume ekspor yang tajam.
Permintaan global terhadap nikel telah meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir dengan pertumbuhan tahunan sekitar 10 persen, dari 2,44 juta ton pada 2019 menjadi 3,61 juta ton pada 2023
(Statista, 2022).
Secara historis, Indonesia hanya fokus pada komoditas nikel kelas dua, yaitu feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI), yang terutama digunakan dalam produksi baja tahan karat dalam negeri dan untuk konversi menjadi produk nikel kelas satu dengan kemurnian tinggi yang digunakan dalam produksi sel baterai kendaraan listrik (EV), teknologi terbarukan, dan superalloy.
FeNi dan NPI umumnya dihasilkan dari bijih saprolit yang diproses melalui proses pirometalurgi menggunakan smelter blast furnace (BF) dan rotary kiln electric furnace (RKEF).
Melalui pelarangan ekspor bijih nikel, pemerintah Indonesian menempatkan fokus utama pada hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Sebagai hasil dari strategi ini, terjadi peningkatan penggunaan produk nikel kelas dua dalam produksi baja tahan karat.
Sejalan dengan pertumbuhan ini, Indonesia terus meningkatkan produksi nikel tahunan nasional dari 0,2 juta ton pada 2016 menjadi 0,76 juta ton pada 2020, setara dengan 30 persen volume produksi global.
Kehadiran industri pengolahan nikel membawa dampak ekonomi yang perlu dilihat secara komprehensif. Klaim penguasa dan para taipan, industri nikel mampu mendongkrak laju ekspor, khususnya produk feronikel dan NPI.
Namun, penghitungan dampak ekonomi perlu melihat berbagai aspek, beberapa di antaranya terkait keberlangsungan perekonomian karena penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari batubara, ditambah lagi standar industri nikel yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, dan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat justru berdampak buruk dalam jangka panjang.
Hal itu tertuang dalam salah satu temuan utama dari hasil penelitian yang dilakukan Centre for Research on Energy and Clean Air atau CREA (Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih) dan Center for Economic and Law Studies atau (CELIOS) berjudul Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel – Dampak Ekonomi dan Kesehatan dari Industri Nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara serta dirilis pada Februari 2024.
CREA dan CELIOS juga menemukan bahwa dalam skenario saat ini atau business-as-usual (BAU), operasi industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara hanya menghasilkan PDB positif sebesar US D4 miliar (Rp 62,8 triliun) pada tahun kelima atau tahap konstruksi, kemudian menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatifnya terhadap total output perekonomian.
“Degradasi lingkungan mengakibatkan penurunan manfaat ekonomi secara bertahap, terutama setelah tahun kedelapan dalam skenario yang dilakukan CELIOS, dan indikator negatif muncul pada tahun kesembilan. Proyeksi ini juga berlaku baik di tingkat nasional maupun regional dengan skenario BAU,” tulis laporan tersebut yang dikutip Indonesian Mining, Kamis (27/6).
Laporan tersebut juga memperlihatkan bahwa kegiatan industri pengolahan nikel memiliki dampak yang kecil terhadap pengurangan angka ketimpangan antarwilayah.
Bahkan, lanjut laporan itu, industri nikel pada skenario existing (BAU) terbukti mempunyai dampak ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih negatif dibandingkan dengan skenario energi terbarukan (ET) dan instalasi APC (Air Pollution Control).
Ironi, juga ditemukan implikasi industri pengolahan nikel terhadap sektor pertanian dan perikanan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara cenderung negatif dalam skenario BAU.
Tulis laporan itu, “Industri nikel dapat menghasilkan kerugian nilai tambah ekonomi lebih dari USD 387,10 juta (Rp 6 triliun) dalam 15 tahun bagi sektor pertanian dan perikanan.”
Kerugian lainnya, skenario beroperasinya industri nikel saat ini dapat menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan sebesar USD 234,84 juta (Rp 3,64 triliun) dalam 15 tahun ke depan.
Kemudan juga ditemukan hampir 80 persen dari total emisi di tiga provinsi yang dievaluasi untuk studi ini, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, berasal dari proses pengolahan nikel. Sisanya berasal dari PLTU captive (captive power plant) yang dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik ke unit-unit smelter nikel.
Laporan itu secara lantang menyebutkan, “Pertumbuhan industri nikel yang pesat, jika tidak diatur, akan menyebabkan lebih dari 3.800 kematian pada tahun 2025 dan hampir 5.000 kasus pada tahun 2030.”
PT Obsidian Stainless Steel, dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 2,2 juta ton feronikel dan tiga juta ton baja tahan karat, diperkirakan menyebabkan lebih dari
seribu kematian setiap tahunnya dan menempati posisi teratas.
Perusahaan lain yang masuk dalam daftar lima besar adalah PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel, PT Alchemist Metal Industry, PT Virtue Dragon Nickel Industry, dan PT Gunbuster Nickel Industry diperkirakan menyebabkan antara 300 dan 500 kematian setiap tahunnya.
CREA dan CELIOS juga menekankan bahwa tanpa pemasangan dan pengoperasian teknologi pengendalian pencemaran udara (APC) yang tepat, sebanyak 1,2 juta penduduk akan terpapar NO2 (nitrogen dioksida) dan SO2 (sulfur dioksida) dengan konsentrasi yang melebihi ambang batas harian dan tujuh juta orang akan terpapar konsentrasi PM2.5 (particulate matter) yang melebihi ambang batas harian.
Ketiganya diketahui sebagai polutan udara utama yang membahayakan kesehatan. CREA dan CELIOS pun menulis dalam laporan temuannya, selain memitigasi emisi dari pembangkit listrik tenaga batubara, tindakan pengendalian polusi udara juga sangat penting dalam gas buang pengolahan logam, yang mengandung polutan udara beracun dalam konsentrasi tinggi.
“Melalui penggunaan teknologi pengendalian polusi udara, lebih dari 3.500 kematian yang terkait dengan emisi dari pengolahan dan 250 kematian yang terkait dengan emisi dari pembangkit listrik tenaga batubara dapat dihindari pada tahun 2030,” tulis CREA dan CELIOS.
Sebanyak 55.600 kematian dan kerugian sebesar USD 38,2 miliar (Rp 592 triliun) dapat dihindari pada 2060 jika semua pusat pengolahan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menerapkan standar kualitas udara yang ketat.
Indonesian Mining